Eksistensi, Kedudukan Surat Edaran Kemendagri Nomor 100.2.1.3/2314/SJ, Dalam Pembentukan Produk Hukum Administrasi Negara

JAMRI, S.H., M.H (Dosen Hukum Administrasi Negara Unisi Tembilahan, dan Pengurus ICMI ORDA Kabupaten Indragiri Hilir)

KILASRIAU.com  - Polemik penjabat kepala daerah yang akan mengajukan pengunduran diri dengan alasan akan menjadi Calon Kepala Daerah maupun Calon Wakil Kepala Daerah sebagai Penjabat Kepala Daerah baik Penjabat Gubernur maupun Penjabat Bupati dan Penjabat Walikota sepertinya akan berakhir. 

Hal ini tidak terlepas dikarenakan Kementerian Dalam Negeri telah mengedarkan Surat Edaran Nomor 100.2.1.3/2314/SJ, Perihal Pengunduran Diri Penjabat Gubernur, Penjabat Bupati/Penjabat Walikota yang mempunyai niat akan mengikuti Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak Nasional Tahun 2024 tertanggal 16 Mei 2024, yang mana surat edaran tersebut di tujukan kepada para Gubernur/Penjabat Gubernur, para Bupati/Penjabat Bupati, para Walikota/Penjabat Walikota para Ketua DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota di seluruh Indonesia. 
 

Sebelum surat edaran ini diedarkan Kementerian Dalam Negeri, Sebagian masarakat memang mempunyai pertanyaan Apakah Penjabat Kepala Daerah seperti Penjabat Gubernur, Penjabat Bupati dan Penjabat Walikota  dimungkinkan mengundurkan diri dengan alasan punya keinginan mencalonkan sebagai Calon Kepala Daerah dan Wakil  Kepala daerah baik itu  Calon Gubernur atau Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati atau Calon Wakil Bupati, dan Calon Walikota atau Calon Wakil Walikota, dimana Undang-Undang Nomor 10 tahun 2016 Tentang Peubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Pemilhan Bupati dan Wakil Bupati atau Walikota dan Wakil Walikota, dalam ketentuan Pasal 7 ayat (2) butir huruf q, mensyaratkan jika mencalonkan diri sebagai calon kepala daerah tersebut statusnya tidak sedang menjabat penjabat kepala daerah, kemudian pasal tersebut tidak hanya berhenti sampai di situ, akan tetapi ketentuan pasal tersebut menjelaskan dalam penjelasannya  menyatakan ketentuan itu dimaksudkan untuk mencegah bagi pejabat kepala daerah dengan alasan untuk mencalonkan diri menjadi calon kepala daerah pada saat Pilkada serentak tahun 2024.

Bagaimana Eksistensi Surat Edaran Dalam Pembentukan Produk Hukum Administrasi ?
Eksistensi Pembentukan produk hukum yang mengikat dalam wilayah Hukum Administrasi Negara sebenarnya  terdapat  tiga klasifikasi  antara lain ialah: Pertama: Ketetapan normatif yang bersifat mengikat dan mengatur ketentuan secara umum (regelling), produk hukumnya seperti Peraturan Perundag-Undangan; Undang-Undang/Perpu, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Daerah Provinsi maupun Peraturan Daerah Kabupaten/kota dan peraturan-peraturan lainnya yang ditetap kan oleh lembaga yang kewenangannya diberikan oleh undang-undang. 

Kedua: Ketetapan normatif yang bersifat mengikat dengan ketentuan yang bersifat khusus dan mengecualikan ketentuan yang bersifat umum (beschikking) seperti produk hukum hasil Ketetapan Tata Usaha Negara yaitu Surat Keputusan Presiden, Surat Keputusan Menteri, Surat Keputusan Gubernur, Surat Keputusan Bupati/Walikota, dan surat Keputusan lembaga-lembaga lainnya baik itu lembaga pemerintahan maupun badan hukum swasta yang kewenangan penetapannya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Ketiga: Ketetapan normatif yang bersifat penghakiman (vonnis) melalui proses berperkara di pengadilan seperti produk putusan-putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Dari ketiga produk norma hukum yang mengikat tersebut Eksistensi berupa Surat Edaran tidak termasuk dalam wilayah produk hukum ini.

Lantas  Bagaimana Pula Kedudukan Surat Edaran Dalam Pembentukan Norma Hukum Administrasi Negara? 
 

Berdasarkan Permendagri Nomor 55 Tahun 2010 Pasal 1 butir 43 dijelaskan bahwa Surat Edaran adalah naskah dinas yang berisi pemberitahuan, penjelasan, dan/atau petunjuk cara melaksanakan hal tertentu yang dianggap penting dan mendesak. Didalam pembahasan kajian Hukum Administrasi Negara bahwa Surat Edaran merupakan bagian dari salah satu yang dimaksud dengan penyebutan istilah beleidsregels atau Peraturan Kebijaksanaan.

Dalam penetapan Peraturan kebijaksanaan sebenarnya tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sebagaimana produk hukum regelling, beschikking mapun vonnis, hal ini dikarenakan penetapannya tidak didasarkan secara yuridis hukum yang berlaku, akan tetapi penetapannya didasarkan pada Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik (AAUPB). Pada prinsipnya penetapan Peraturan Kebijaksanaan  seperti Surat Edaran tersebut tidak diperbolehkan membuat ketentuan norma baru sepanjang Ketentuan tersebut telah diatur dan ditetapkan oleh produk-produk hukum normatif yang mengikat Apakah itu Peraturan Perundang-undangan, Keputusan maupun Putusan-Putusan Pengadilan yg berkekuatan hukum tetap, hal ini dikarenakan Peraturan Kebijaksanaan ditetapkan berdasarkan prinsip diskresi atau terdapat kekosongan hukum, baik dari produk hukum peraturan perundang-undangan, Keputusan maupun putusan-putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Sebab bilamana penetapan Peraturan Kebijaksanaan dalam penetapannya dianggap bertentangan dengan prinsip norma-norma hukum yang mengikat, berkaitan dengan hal ini peraturan kebijaksanaan tidak dapat dilakukan pengujian (toetsing) melalui mekanisme Judicial Review, namun sistem mekanisme pengujiannya oleh lembaga yang menetapkan Peraturan Kebijaksanaan tersebut dalam hal ini dengan menggunakan mekanisme eksekutif review. Oleh karena itu, maka dalam menetapkan Peraturan kebijaksanaan harus dilandasi prinsip “bijaksana” dengan ketentuan salah satunya tidak boleh bertentangan dengan produk norma hukum yang bersifat mengikat. 
 

Berkaitan dengan Surat Edaran Kementerian Dalam Negeri Nomor 100.2.1.3/2314/SJ, Perihal Pengunduran Diri Penjabat Gubernur, Penjabat Bupati/Penjabat Walikota yang mempunyai niat akan mengikuti Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak Nasional Tahun 2024, pada poin angka 4 yang menyatakan “Dalam rangka menjamin hak seluruh warga negara dan merujuk pada keterangan angka 1 dan angka 2 di atas terhadap penjabat Gubernur, Penjabat Bupati dan Penjabat Walikota yang akan mencalonkan diri pada kontes Pemilihan Kepala Daerah serentak Nasional Tahun 2024, agar administrasi pengunduran dirinya disampaikan kepada Menteri Dalam Negeri selambat-lambatnya 40 (empat puluh) hari sebelum tanggal pendaftaran Pasangan calon sesuai tahapan dan jadwal Pilkada yang telah ditetapkan oleh KPU RI”.

Penulis mempunyai pandangan bahwa ketentuan Surat Edaran tersebut sangat bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 10 tahun 2016, khususnya ketentuan yang terdapat di dalam Pasal 7 ayat (2) butir huruf q dan penjelasannya dikarenakan kewenangan yang diberikan oleh undang-undang kepada Kemendagri berdasarkan penjelasan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016, Pasal 7 ayat (2) butir huruf q tersebut adalah mestinya “mencegah” terhadap Penjabat Kepala Daerah yang akan mengundurkan diri dengan alasan mencalonkan sebagai Calon Kepala Daerah pada Pemilihan Kepala Daerah tahun 2024, namun apa yang telah diedarkan oleh Kementrian Dalam Negeri melalui Surat Edaran tersebut bukannya mencegah Penjabat Kepala Daerah, akan tetapi seolah-olah malah memberikan jalan untuk mengajukan pengunduran dirinya yang disampaikan kepada Menteri Dalam Negeri selambat-lambatnya 40  (empat puluh) hari sebelum tanggal pendaftaran Pasangan calon sesuai tahapan dan jadwal yang telah ditetapkan oleh KPU RI.
 

Bagaimana harusnya meyikapi Surat Edaran Kemetrian Dalam Negeri yang sudah di edarkan tersebut. Penulis mempunyai pandangan antara lain: Pertama, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) harusnya memanggil Kementrian Dalam Negeri untuk mengklarifikasi surat edaran tersebut, sebelum surat edaran tersebut dilaksanakan oleh Kementrian Dalam Negeri, dengan alasan secara yuridis menjalankan fungsi DPR terhadap pengawasan jalannya pemerintahan yang dianggap bertentangan dengan ketentuan Undang-Undang khususnya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 , Pasal 7 ayat (2) butir huruf q, serta meminta Kemendagri menarik Kembali surat edaran yang telah di edarkan tersebut.

Itupun jikalau Lembaga DPR RI mempunyai kemauan secara politik (political Will) dalam meluruskan jalannya prinsip negara hukum di Indonesia. Andaikan sebaliknya maka Surat Edaran ini akan menjadi sebagai alasan pembenar secara administrasi perihal pengunduran diri Penjabat kepala Daerah untuk mencalonkan diri sebagai calon kepala daerah. 

Kedua, Penjabat Kepala Daerah yang sedang menjabat secara privasi mestinya mengabaikan surat edaran tersebut dan lebih fokus dalam menjalankan tugas yang diamanahkan kepadanya sebagai Penjabat Kepala Daerah hingga selesai dan berakhir jabatannya yang di amanahkan, mengingat kalimat sumpahnya sebagai Pegawai Negeri Sipil pada saat menerima profesinya salah satu poin kalimat yang pernah di ucapkan “….…menjalankan peraturan perundang-undangan dengan selurus lurusnya……”. Dan bukan kalimat “…...Menjalankan Surat Edaran yang selurus-lurusnya…..!!!”
 






Tulis Komentar