Warga Keluhkan Pungutan, Masyarakat Juga Inginkan Pemerintah Desa Koto Taluk Harus Transparan

Warga Keluhkan Pungutan,  Masyarakat Juga Inginkan  Pemerintah Desa Koto Taluk Harus Transparan
Foto: Istimewa (doc. Kilasriau.com)

TELUKKUANTAN (KilasRiau.com) - Pelayanan Pemerintah adalah hak setiap warga negara yang harus diberikan keterbukaan dan keadilan. Namun seringkali masyarakat merasakan ketidakpuasan terhadap pelayanan yang diberikan, termasuk dalam hal pungutan, iuran dan transparansi informasi terkait regulasi yang Ada.

Hal ini menimbulkan ketidakpuasan dan rasa keadilan yang masih jauh dari harapan. Salah satu contoh ketidakpuasan masyarakat ini, muncul di desa Koto Taluk, Kecamatan Kuantan Tengah, Kabupaten Kuantan Singingi, Riau.

Dimana, masyarakat setempat mengeluhkan adanya indikasi pungutan yang dilakukan aparat desa terkait iuran pembuatan jalur baru.

KilasRiau berusaha mengidentifikasi dan menggali informasi di Desa Koto Taluk terkait keluhan tersebut. Dari hasil penelusuran, beberapa orang warga yang enggan namanya dipublish membenarkan adanya pungutan ke rumah-rumah warga. Mereka mengaku dipungut biaya sebesar 150 ribu rupiah per rumah.

Pada Kamis (06/02/2025) malam, KilasRiau mengkonfirmasi Penjabat Kepala Desa Koto Taluk, Triwan Marlius, terkait pungutan guna untuk pembuatan jalur baru yang dikeluhkan warga tersebut.

Triwan membenarkan adanya pungutan dari rumah ke rumah dimaksud. Dia mengatakan, iuran itu dikumpulkan dan untuk digunakan sebagai biaya pembuatan jalur baru.

"Iuran ini kami minta dari rumah ke rumah warga untuk kepentingan bersama, dan ini kami lakukan atas hasil kesepakatan bersama warga, BPD, dan Ketua Dusun," begitu dikatakan Penjabat (Pj) Kades Koto Taluk Triwan Marlius.

Ketika ditanyakan terkait pungutan tersebut, Triwan menjelaskan bahwa hasil pungutan iuran dari warga itu, nanti akan disetorkan ke panitia pembuatan jalur baru dimaksud.

"Sebulan 50 ribu, selama 3 bulan.
Berarti 150 setiap rumah atau KK, itu pun sudah sepakat waktu rapat, bukan keputusan desa.
Semuanya hasil rapat waktu itu, 
dan undangan untuk rapat pun sudah diedarkan oleh masing masing Kadus. Dan disampaikan juga di Grub  perangkat dan RT/RW," kata Triwan menerangkan.

"Disetor ke bendahara panitia pembuatan jalur baru, panitia di waktu rapat dibentuk," demikian jelas Triwan.

Meskipun demikian, tindakan pungutan ini menimbulkan keresahan di kalangan warga, yang merasa mereka seharusnya diberikan pelayanan dan bantuan harus mengeluarkan biaya untuk membantu desa membuat jalur yang baru.

Sementara, sesungguhnya pungutan di desa yang ditetapkan nominalnya adalah retribusi desa, yang merupakan pungutan untuk jasa atau izin tertentu. Kemudian nominal pungutan ini ditetapkan dalam Peraturan Desa (Perdes).

Nah, pungutan di desa untuk pembangunan atau pembuatan jalur bisa dilakukan melalui swadaya insidentil, retribusi, atau sumbangan. Bisa saja swadaya insidentil, yakni pungutan sukarela dan tidak mengikat.

Namun, pungutan ini dilakukan untuk kepentingan pembangunan sarana dan prasarana umum atau kegiatan tertentu yang bermanfaat bagi masyarakat.

Di sisi lain, transparansi dan keterbukaan dalam pengelolaan dana publik menjadi tuntutan utama masyarakat agar pelayanan yang diberikan sesuai dengan prinsip keadilan dan tidak memberatkan warga.

"Iya. Selain pungutan yang memberatkan warga ini, kami juga ingin pemerintah desa transparan. Kemarin kami dengar juga ada desa membeli sapi, infonya bantuan dari provinsi. Ke mana, di mana sapi-sapi itu sekarang ?," ungkap Jhojo (nama samaran), kepada KilasRiau.com saat bincang kecil di sebuah warung kopi di Teluk Kuantan.

Jhojo juga mengungkapkan bahwa sapi yang diketahui dibeli itu berjumlah 11 ekor, dan sekarang tinggal 9 ekor, yang 2 ekornya kemana..?,

"Jika memang sapi yang 2 ekor itu mati, di mana dikuburkan?," ungkapnya merasa kesal.

"Kami juga ingin pemberi bantuan untuk melihat apa yang dibantunya ke desa, apakah sudah cocok dan betul-betul dimanfaatkan dan tepat guna ?," ungkapnya lagi.

Di tempat terpisah, hal senada juga disampaikan warga desa Koto Taluk, Dodoy (juga nama samaran) kepada KilasRiau.com. Dodoy merasa tidak adanya keterbukaan pemerintah desa terhadap masyarakat.

"Pemerintah Koto Taluk tidak ada perubahannya. Tidak transparan. Seperti ada yang ditutup-tutupi, apalagi masalah keuangan," kata Dodoy.

"Saya juga pernah dengar oknum perangkat desa yang mengembalikan uang desa, apakah sudah dikembalikan penuh ??," ungkapnya penasaran.

Dalam hal kasus ini mencerminkan perlunya ada perbaikan dalam sistem pelayanan publik, terutama dalam hal transparansi dan akuntabilitas pengelolaan dana.

Pemerintah Desa diharapkan dapat lebih terbuka dalam memberikan informasi secara optimal dan melibatkan seluruh masyarakat dalam pengambilan keputusan, sehingga tercipta kepercayaan dan kepuasan, sehingga masyarakat dapat memahami tujuan yang dimaksudkan pemerintah dalam pelayanan yang diberikan.*(ald)